was successfully added to your cart.

Melancong ke Tambora Demi Kopi

By 05/09/2017Article

Awal April 2015. Rasanya semua orang sedang memburu Tambora hari-hari ini, sehingga tiket pesawat menuju Bima sulit didapat. Mau tak mau, saya harus menempuh perjalanan‎ darat dan laut dari Bandara Internasional Lombok menuju Desa Labuan Kananga Kecamatan Tambora Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat. Satu kabar terngiang-ngiang di kepala: ada festival kopi di Labuan Kenanga. Ini memang harus diburu….!

Maka dimulailah perjalanan yang panjang dan melelahkan, namun membahagiakan, demi ingin melongok festival kopi yang dimaksud. Pertanyaan penasaran terus bertengger di benak. Festival kopi di desa kecil? Seperti apakah? Rasa kopinya, bagaimanakah?

Perjalanan fase pertama dari bandara Lombok di Lombok Tengah ke pelabuhan laut Kayangan Lombok ‎Timur ditempuh selama empat jam dengan mengendarai mobil sewaan. (perjalanan dari Jakarta ke Lombok tidak perlu diceritakan). Saya bersama sejumlah teman hanya berhenti sejenak di daerah Selong untuk membeli beberapa ikat rambutan dan tiga gelundung durian.

Perjalanan fase kedua ditempuh selama dua jam dengan kapal feri menuju pelabuhan Pototano di Sumbawa Barat. Pengalaman saya naik kapal Mutiara Pertiwi ini mirip belaka dengan pengalaman serupa sebelumnya. Membelah laut lepas di tengah teriknya ‎mentari, hilir-mudik menelusuri sudut-sudut kapal karena tidak kebagian tempat duduk, dan bertemu dengan orang-orang menarik dengan cerita yang mengesankan. Empat pria berbagi nasi dengan lauk tahu dan ayam kecap di geladak belakang‎.

Perjalanan fase ketiga, kami serasa membelah Pulau Sumbawa, melewati Sumbawa Barat, Sumbawa Besar, Dompu, lalu Bima. Beruntung, pemandangan di sepanjang jalan memberi vitamin pada mata. Keindahan pantai Pulau Sumbawa membuat saya tidak berhenti berdecak. Birunya laut beradu dengan birunya langit. Bongkah-bongkah awan memperlengkap pesonanya.

Sekitar sepuluh jam perjalanan dengan mobil hingga mencapai Desa Labuan Kenanga. Sepuluh jam yang melelahkan, yang dengan cepat berubah menjadi semangat setelah melihat gerombolan sapi, kerbau, dan kuda yang dengan santai berjalan di tengah jalan. Pak Nasir, sopir kami, harus beberapa kali mengerem karena di depan mobil tiba-tiba ada sapi, berdiri melintang, entah dari manma datangnya. Nyaris tak ada lampu penerangan sepanjang perjalanan.
Kami pun tiba tepat pada tengah malam.

“Festival” kopi Tambora

Hembusan angin pagi di tubir pantai Kananga, Desa Labuhan Kananga terasa segar, menyapa penduduk yang mulai ramai menuju tempat pelelangan ikan di ujung sana. ‎Di satu sisi pantai, beberapa orang menyiapkan tungku atau anglo dengan bahan bakar arang, wajan atau penggorengan, dan butiran-butiran kopi yang hendak disangrai.

Ooooo….. Festival Kopi Tambora yang dimaksud itu rupanya adalah lomba meracik kopi mulai dari menyangrai biji kopi hingga coklat kehitaman, menumbuknya hingga menjadi butiran halus, lantas menyeduhnya. Lomba yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bima ini memperebutkan hadiah antara lain ponsel, selimut, serta peralatan elektronik dan kebutuhan rumah tangga lain.

Jangan bayangkanm juri lomba ini adalah pakar kopi dari kota. Jurinya antara lain Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bima serta Sekretaris Camat Syamsuddin. ‎”Ya apa yang menurut kami enak dan pas rasa kopinya, ya itu yang menang,” kata Syamsuddin.

Seorang peserta sedang menyangrai kopi

Seru juga melihat para perempuan ini, yang sambil cekikikan menyangrai kopi. Ada 20 peserta lomba dan sepuluh di antaranya menang. Lho? Rupanya pemenangnya diambil dari juara pertama hingga kelima, dan masing-masing ‎juara itu ada dua orang. Juara pertama ada dua orang, juara kedua dua orang, dan seterusnya. Wah, unik.

“Harus sabar untuk menyangrai kopi. Apinya kecil supaya tidak cepat gosong. Nah ini saya belum selesai menggoseng, itu empat peserta lain sudah selesai, he-he-he,” kata Raodah, juara kedua lomba meracik kopi dari Desa Oibura, desa penghasil kopi robusta dan arabica besar di Bima.

Juara pertama lomba, Rosdiana, warga Desa Oibura, menceritakan rasa kopi Tambora yang sedap dan masih diolah secara tradisional. Pemilik dua hektar kebun kopi ini biasa melayani ‎para pembeli dari masyarakat lokal saja. Satu plastik kopi seberat 300 gram ia hargai Rp 20.000, sama dengan penjual kopi lain. Saya pun bertanya, jika ada pemesanan biji kopi mentah dari Jakarta, siap? “Ya siap,” kata Rosdiana, yang rata-rata memanen 500 kilogram hingga satu ton kopi setahun.

Penghasil kopi

Minuman kopi siap disajikan

Melalui film dokumenter mengenai koperasi di Tambora pada 1932, tergambar perkebunan kopi seluas 56.000 hektar di Oibura. Skenario film berbahasa Swedia ini ‎ditulis Lindstrom Jan Gunnar. Film ini menggambarkan betapa kebun kopi yang luas sudah terhampar di Tambora sejak tahun 30-an.

“Sekarang kebun kopi itu sudah menjadi milik warga. Ada yang punya satu hektar, dua hektar, hingga berhektar-hektar. Selain kopi, hasil kebun yang juga besar adalah jambu mede,” kata Syamsuddin.

Sri Hayati memiliki tujuh hektar lahan yang ditanami pohon kopi. Sebagian besar lahan diwariskan orang tuanya, dan sisanya ia beli dari warga lain. “Campuran robusta dan arabica,” katanya.

Lomba meracik kopi telah usai. Juara sudah diumumkan. Hadiah telah dibagikan. Saatnya menyeruput kopi yang masih panas mengepul dari cangkir logam. Tanpa gula, kopi Tambora ini sedap betul. ‎Saya pun berjalan menuju pantai Kananga. Sambil menatap Pulau Satonda nun jauh di sana, saya menikmati pahitnya kopi Tambora.

Secangkir kopi pahit yang disesap di tubir pantai, tiba-tiba mampu melenyapkan pahitnya kenangan. Eh, ini tentu hanya becanda….   ??☕☕☕☕ (IVV)

Aloya Coffee

Author Aloya Coffee

1st Grade Fresh Coffee

More posts by Aloya Coffee

Leave a Reply